Selasa, 12 Juli 2011

tafsir an nahal ayat 125 by fikri

Serulah (manusia) ke jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhan-mu, Dialah Yang Mahatahu tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah Yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk. (QS an-Nahl [16]: 125).
Pendapat Para Ahli Tafsir
1. Tafsir al-Jalâlayn
Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan
Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan
al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat
atau perkataan yang halus) dan debatlah mereka
dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti
menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-
ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah).
Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Mahatahu,
yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari
jalan-Nya, dan Dia Mahatahu atas orang-orang
yang mendapatkan petunjuk. Hal ini terjadi
sebelum ada perintah berperang. Ketika Hamzah
dicincang dan meninggal dunia pada Perang
Uhud turunlah ayat berikutnya.
2. Tafsir al-Quthubi
Ayat ini diturunkan di Makkah saat Nabi saw.
diperintahkan untuk bersikap damai kepada kaum
Quraisy. Beliau diperintahkan untuk menyeru
pada agama Allah dengan lembut (talathuf),
layyin, tidak bersikap kasar (mukhâsanah), dan
tidak menggunakan kekerasan (ta’nîf). Demikian
pula kaum Muslim; hingga Hari Kiamat
dinasihatkan dengan hal tersebut. Ayat ini bersifat
muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang
durhaka dan telah di-mansûkh oleh ayat perang
berkaitan dengan kaum kafir. Ada pula yang
mengatakan bahwa bila terhadap orang kafir
dapat dilakukan cara tersebut, serta terdapat
harapan mereka untuk beriman tanpa
peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan
demikian bersifat muhkam. Wallâhu a’lam.
3. Tafsir ath-Thabari
Allah Swt. mengingatkan Nabi saw., “Serulah,
wahai Muhammad, orang-orang yang engkau
diutus Rabb-mu kepada mereka dengan seruan
untuk taat ke jalan Rabb-mu, yakni ke jalan yang
telah Dia syariatkan bagi makhluk-Nya yakni
Islam, dengan hikmah (yakni dengan wahyu
Allah yang telah diwahyukan kepadamu dan
kitab-Nya yang telah Dia wahyukan kepadamu)
dan dengan nasihat yang baik (al-maw‘izhah al-
hasanah, yakni dengan ungkapan indah yang
Allah jadikan hujah atas mereka di dalam kitab-
Nya dan ingatkan juga mereka dengannya
tentang apa yang diturunkan-Nya sebagaimana
yang banyak tersebar dalam surat ini dan
ingatkan mereka dengan apa yang ditunkan Allah
Swt. tentang berbagai kenikmatan-Nya bagi
mereka), serta debatlah mereka dengan cara baik
(yakni bantahlah mereka dengan bantahan yang
terbaik), engkau berpaling dari siksaan yang
mereka berikan kepadamu sebagai respon
mereka terhadap apa yang engkau sampaikan.
Janganlah engkau mendurhakai-Nya dengan tidak
menyampaikan risalah Rabb-mu yang diwajibkan
kepadamu.
4. Tafsir al-Qurân il-‘Azhîm
Allah, Zat Yang Mahatinggi, berfirman dengan
memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad saw.,
untuk menyeru segenap makhluk kepada Allah
dengan hikmah. Ibn Jarir menyatakan, bahwa
maksud dari hal tersebut adalah apa saja yang
diturunkan kepadanya baik al-Quran, as-Sunnah,
maupun nasihat yang baik; artinya dengan apa
saja yang dikandungnya berupa peringatan
(zawâjir) dan realitas-realitas manusia.
Peringatkanlah mereka dengannya supaya
mereka waspada terhadap murka Allah Swt.
‘Debatlah mereka dengan debat terbaik’ artinya
barangsiapa di antara mereka yang berhujah
hingga berdebat dan berbantahan maka
lakukanlah hal tersebut dengan cara yang baik,
berteman, lembut, dan perkataan yang baik. Hal
ini seperti firman Allah Swt. dalam surat
al-‘Ankabut (29): 46 (yang artinya): Janganlah
kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan
dengan cara yang paling baik, kecuali dengan
orang-orang zalim di antara mereka. Dia
memerintahkannya untuk bersikap lembut seperti
halnya Dia memerintahkan hal tersebut kepada
Musa a.s. dan Harun a.s. ketika keduanya diutus
menghadap Fir’aun seperti disebut dalam surat
Thaha (20) ayat 44 (yang artinya): Katakanlah
oleh kalian berdua kepadanya perkataan lembut
semoga dia mendapat peringatan atau takut.
Firman-Nya “Sesungguhnya Rabb-mu Dialah
Maha Mengetahui terhadap siapa yang sesat dari
jalan-Nya” artinya Dia telah mengetahui orang
yang celaka dan bahagia di antara mereka. Oleh
karena itu, serulah mereka kepada Allah, dan
janganlah engkau merasa rugi atas mereka yang
sesat, sebab bukanlah kewajibanmu menjadikan
mereka mendapatkan petunjuk; engkau semata-
mata pemberi peringatan, engkau wajib
menyampaikan dan Kami yang wajib
menghisabnya.
Makna Global
Berdasarkan beberapa pendapat di atas,
tampaklah bahwa Allah Swt. menggariskan tiga
cara menyeru manusia pada Islam, yaitu:
hikmah, peringatan/nasihat yang baik, dan debat.
Hikmah adalah al-burhân al-‘aqlî (argumentasi
logis). Maksudnya, argumentasi yang masuk akal,
yang tidak dapat dibantah, dan yang
memuaskan. Cara demikian dapat
mempengaruhi pikiran dan perasaan siapa saja.
Sebab, manusia tidak dapat menutupi akalnya di
hadapan argumentasi-argumentasi yang pasti
serta pemikiran yang kuat. Argumentasi logis
mampu membongkar rekayasa kebatilan,
menerangi wajah kebenaran, dan menjadi api
yang mampu membakar kebobrokan sekaligus
menjadi cahaya yang dapat menyinari
kebenaran. Al- Quran datang dengan hujah-
hujah yang jelas dan argumentasi-argumentasi
yang logis. Hikmah, memang, kadangkala
berarti menempatkan persoalan pada tempatnya;
kadangkala juga berarti hujjah atau argumentasi.
Dalam ayat ini, tidak mungkin ditafsirkan dengan
makna ‘menempatkan persoalan pada
tempatnya’. Makna hikmah dalam ayat ini adalah
hujah dan argumentasi.
Jumhur ulama memaknai hikmah yang dikaitkan
dengan dakwah sebagai perkataan tegas dan
benar yang dapat membedakan yang hak dan
batil, sedangkan hikmah yang disambungkan
dengan al-Quran maksudnya adalah As Sunnah.
Dakwah dengan cara hikmah umumnya
diberikan oleh seseorang untuk menjelaskan
sesuatu kepada pendengarnya yang ikhlas untuk
mencari kebenaran. Hanya saja, ia tidak dapat
mengikuti kebenaran kecuali bila akalnya puas dan
hatinya tenteram.
Cara mengemban dakwah yang kedua, adalah
maw‘izhah hasanah atau peringatan yang baik.
Itu berarti mempengaruhi perasaan manusia
tatkala akal mereka diseru dan mempengaruhi
pemikiran mereka tatkala perasaannya diseru.
Dengan begitu, pemahaman mereka terhadap
apa yang mereka dakwahkan senantiasa diliputi
oleh semangat untuk melaksanakannya serta
beraktivitas untuk meraihnya. Al-Quran telah
mempraktikkan hal itu. Pada saat ia menyeru
pemikiran, ia pun mempengaruhi perasaan
manusia. Nasihat yang baik umumnya melalui
cara berita gembira dan berita peringatan dari
Allah Pencipta alam. Misalnya firman Allah Swt.:
] ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﺫَﺭَﺃْﻧَﺎ ﻟِﺠَﻬَﻨَّﻢَ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ
ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺠِﻦِّ ﻭَﺍْﻹِﻧﺲِ ﻟَﻬُﻢْ ﻗُﻠُﻮﺏٌ
ﻻَ ﻳَﻔْﻘَﻬُﻮﻥَ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﺃَﻋْﻴُﻦٌ
ﻻَ ﻳُﺒْﺼِﺮُﻭﻥَ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﺁﺫَﺍﻥٌ ﻻَ
ﻳَﺴْﻤَﻌُﻮﻥَ ﺑِﻬَﺎ ﺃُﻭْﻟَﺌِﻚَ
ﻛَﺎْﻷَﻧْﻌَﺎﻡِ ﺑَﻞْ ﻫُﻢْ ﺃَﺿَﻞُّ
ﺃُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢْ ﺍﻟْﻐَﺎﻓِﻠُﻮﻥَ [
Sesungguhnya Kami telah menjadikan isi neraka
Jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia.
Mereka mempunyai pikiran tetapi tidak
dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat
Allah). Mereka mempunyai mata tetapi tidak
dipergunakan untuk memperhatikan (ayat-ayat
Allah). Mereka juga mempunyai telinga tetapi tidak
dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat
Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lalai. (QS al-An‘am [6]: 179).
Adapun cara yang ketiga adalah al-jidâl (debat)
dengan cara yang baik, yaitu diskusi terbatas
pada ide. Debat dilakukan dengan menyerang dan
menjatuhkan argumentasi-argumentasi yang
batil, lalu memberikan argumentasi-argumentasi
yang jitu dan benar, berdasarkan kajian hingga
sampai pada suatu kebenaran. Karena itu, seperti
telah disebut, debat mengandung dua sifat, yaitu
merobohkan dan membangun; menjatuhkan dan
menegakkan argumentasi-argumentasi. Di antara
teladan cara debat yang diajarkan al-Quran
adalah:
]ﺃَﻟَﻢْ ﺗَﺮَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺣَﺎﺝَّ
ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻓِﻲ ﺭَﺑِّﻪِ ﺃَﻥْ ﺁﺗَﺎﻩُ
ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚَ ﺇِﺫْ ﻗَﺎﻝَ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢُ
ﺭَﺑِّﻲ
ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳُﺤْﻴِﻲ ﻭَﻳُﻤِﻴﺖُ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻧَﺎ
ﺃُﺣْﻴِﻲ ﻭَﺃُﻣِﻴﺖُ ﻗَﺎﻝَ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢُ
ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻳَﺄْﺗِﻲ ﺑِﺎﻟﺸَّﻤْﺲِ ﻣِﻦْ
ﺍﻟْﻤَﺸْﺮِﻕِ ﻓَﺄْﺕِ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦْ
ﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﻓَﺒُﻬِﺖَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻛَﻔَﺮَ[
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang
mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah)?
Karena Allah telah memberikan kepada orang itu
pemerintahan (kekuasaan), ketika Ibrahim
mengatakan, “Tuhanku ialah yang menghidupkan
dan mematikan.” Orang itu berkata, “Aku dapat
menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata,
“Allah bisa menerbitkan matahari dari Timur,
maka terbitkanlah dari Barat.” Lalu diam dan
terdiamlah orang kafir itu. (QS al-Baqarah [2]:
257).
Allah Swt. juga berfirman:
] ﻗَﺎﻝَ ﻓِﺮْﻋَﻮْﻥُ ﻭَﻣَﺎ ﺭَﺏُّ
ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ% ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺏُّ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕِ
ﻭَﺍْﻷَﺭْﺽِ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺇِﻥْ
ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻣُﻮﻗِﻨِﻴﻦَ% ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻤَﻦْ
ﺣَﻮْﻟَﻪُ ﺃَﻻَ ﺗَﺴْﺘَﻤِﻌُﻮﻥَ% ﻗَﺎﻝَ
ﺭَﺑُّﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺏُّ ﺀَﺍﺑَﺎﺋِﻜُﻢُ
ﺍْﻷَﻭَّﻟِﻴﻦَ% ﻗَﺎﻝَ
ﺇِﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺃُﺭْﺳِﻞَ
ﺇِﻟَﻴْﻜُﻢْ ﻟَﻤَﺠْﻨُﻮﻥٌ% ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺏُّ
ﺍﻟْﻤَﺸْﺮِﻕِ ﻭَﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﻭَﻣَﺎ
ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ
ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻌْﻘِﻠُﻮﻥَ% ﻗَﺎﻝَ ﻟَﺌِﻦِ
ﺍﺗَّﺨَﺬْﺕَ ﺇِﻟَﻬًﺎ
ﻏَﻴْﺮِﻱ َﻚَّﻨَﻠَﻌْﺟَﻷَ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻤَﺴْﺠُﻮﻧِﻴﻦَ% ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻭَﻟَﻮْ
ﺟِﺌْﺘُﻚَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻣُﺒِﻴﻦٍ% ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺄْﺕِ
ﺑِﻪِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺖَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻗِﻴﻦَ[
Fir’aun bertanya, “Siapa Tuhan alam semesta itu?”
Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan
bumi dan apa saja yang ada pada keduanya
(itulah Tuhanmu) jika kamu sekalian (orang-
orang) yang mempercayainya.” Berkata Fir’aun
kepada orang-orang sekelilingnya, “Apakah kamu
tidak mendengarkan?” Musa berkata (pula),
“Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek kamu
terdahulu,” Fir’aun berkata, “Sesungguhnya
rasulmu yang diutus kepada kalian benar-benar
orang gila,” Musa berkata, “Tuhan yang
menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada
diantara keduanya (itulah Tuhanmu) jika kamu
mempergunakan akal.” Fir’aun berkata, “Sungguh
jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-
benar aku akan menjadikan kamu salah seorang
yang dipenjarakan.” Musa berkata, “Datangkanlah
sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu
termasuk orang-orang yang benar.” (QS asy-
Syu‘ara [26]: 23-31).
Ayat-ayat tersebut menggambarkan bahwa debat
itu haruslah dalam rangka mengungkapkan
kebenaran sebagai benar dan kebatilan sebagai
batil di hadapan orang yang tetap ‘ngotot’ dengan
kebatilannya dan kuat penentangannya sekalipun
telah jelas kebenaran di antara kebatilan seperti
jelasnya matahari di siang bolong. Caranya
dengan merobohkan argumen batil, menyerang
argumentasi batil, serta menelanjangi kebatilan
tersebut dengan argumentasi benar secara
mengakar dan tepat, lalu dibangunlah kebenaran
atas dasar argumen atau dalil yang tepat tersebut.
Inilah hakikat debat yang dikehendaki Allah Swt.
Penutup: Dakwah Tanpa Kekerasan
Penelusuran terhadap makna surat an-Nahl [16]
ayat 125 di atas memberikan gambaran bahwa
dakwah menyeru manusia ke jalan Islam
ditempuh tanpa kekerasan. Cara yang dilakukan
adalah dengan mengubah pemikiran mereka
melalui penjelasan argumentasi (hikmah),
menunjukan kabar gembira dan peringatan dari
Allah Swt. (maw‘izhah hasanah), atau
menelanjangi kebatilan sekaligus membangun
kebenaran dengan debat (jidâl). n
Categories: Arsip Al-Wa'ie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar