Selasa, 12 Juli 2011

tafsir s.an nahl 125

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta
bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”[1]
2. Asbab An-Nuzul Surat An Nahl ayat 125
Para mufasir berbeda pendapat seputar
sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini.
Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun
setelah Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70
sahabat yang syahid dalam Perang Uhud,
termasuk Hamzah, paman Rasulullah.[2] Al-
Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di
Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah
SAW, untuk melakukan gencatan senjata
(muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi,
Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang
menjadi sebab turunnya ayat tersebut.[3]
Meskipun demikian, ayat ini tetap berlaku
umum untuk sasaran dakwah siapa saja, Muslim
ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus
sesuai dengan sabab an- nuzul-nya (andaikata
ada sabab an-nuzul-nya). Sebab, ungkapan yang
ada memberikan pengertian umum.[4] Ini
berdasarkan kaidah ushul:
ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻌِﺒْﺮَﺓَ
ﻟِﻌُﻤُﻮﻡِ ﺍﻟﻠَّﻔْﻆِ
ﻟَﺎ ﺑِﺨُﺼُﻮﺹِ
ﺍﻟﺴَّﺒَﺐِ
Artinya:
“Yang menjadi patokan adalah keumuman
ungkapan, bukan kekhususan sebab”[5]
Setelah kata ud‘u (serulah) tidak
disebutkan siapa obyek (maf‘ûl bih)-nya. Ini
adalah uslub (gaya pengungkapan) bahasa Arab
yang memberikan pengertian umum (li at-
ta’mîm).[6]
Dari segi siapa yang berdakwah, ayat
ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah
perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga
berlaku untuk umat Islam. Sebagaimana kaidah
dalam ushul fikih :
ﺧﻄﺎﺏ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺧﻈﺎﺏ
ﻻﻣﺘﻪ ﻣﺎﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﺩﻟﻴﻞ
ﺍﻟﺘﺤﺼﻴﺺ
Artinya:
“Perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga
berlaku untuk umat Islam, selama tidak ada dalil
yang mengkhususkannya.” [7]
3. Beberapa Pendapat Ahli Tafsir
a. Tafsir Al-Jalaalayn
} ﺍﺩﻉ { ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﺎ ﻣﺤﻤﺪ
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
} ﺇﻟﻰ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺭَﺑّﻚَ {
ﺩﻳﻨﻪ } ﺑﺎﻟﺤﻜﻤﺔ { ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ
} ﻭﺍﻟﻤﻮﻋﻈﺔ ﺍﻟﺤﺴﻨﺔ {
ﻣﻮﺍﻋﻈﺔ ﺃﻭ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺮﻗﻴﻖ
} ﻭﺟﺎﺩﻟﻬﻢ ﺑﺎﻟﺘﻰ { ﺃﻱ
ﺍﻟﻤﺠﺎﺩﻟﺔ ﺍﻟﺘﻲ } ﻫِﻰَ
ﺃَﺣْﺴَﻦُ { ﻛﺎﻟﺪﻋﺎﺀ
ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺂﻳﺎﺗﻪ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ
ﺇﻟﻰ ﺣﺠﺠﻪ } ﺇِﻥَّ
ﺭَّﺑَّﻚَ ﻫُﻮَ
ﺃَﻋْﻠَﻢُ { ﺃﻱ ﻋﺎﻟﻢ
} ﺑِﻤَﻦ ﺿَﻞَّ ﻋَﻦ
ﺳَﺒِﻴﻠِﻪِ ﻭَﻫُﻮَ
ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺑﺎﻟﻤﻬﺘﺪﻳﻦ {
ﻓﻴﺠﺎﺯﻳﻬﻢ ،
ﻭﻫﺬﺍ ﻗﺒﻞ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﻘﺘﺎﻝ . ﻭﻧﺰﻝ ﻟﻤﺎ ﻗﺘﻞ ﺣﻤﺰﺓ
Artinya:
“Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan
Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan
al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat
atau perkataan yang halus) dan debatlah mereka
dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti
menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-
ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah).
Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Mahatahu,
yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari
jalan-Nya, dan Dia Mahatahu atas orang-orang
yang mendapatkan petunjuk. Maka Allah
membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum ada
perintah berperang. Ketika Hamzah dibunuh
(dicincang dan meninggal dunia pada Perang
Uhud)” [8]
b. Tafsir al-Qurthuby
ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ ﻧﺰﻟﺖ ﺑﻤﻜﺔ ﻓﻲ
ﻭﻗﺖ ﺍﻻﻣﺮ ﺑﻤﻬﺎﺩﻧﺔ
ﻗﺮﻳﺶ، ﻭﺃﻣﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻮ
ﺇﻟﻰ ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺷﺮﻋﻪ
ﺑﺘﻠﻄﻒ ﻭﻟﻴﻦ ﺩﻭﻥ
ﻣﺨﺎﺷﻨﺔ ﻭﺗﻌﻨﻴﻒ، ﻭﻫﻜﺬﺍ
ﻳﻨﺒﻐﻰ ﺃﻥ ﻳﻮﻋﻆ
ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﺇﻟﻰ ﻳﻮﻡ
ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ. ﻓﻬﻰ ﻣﺤﻜﻤﺔ
ﻓﻲ ﺟﻬﺔ ﺍﻟﻌﺼﺎﺓ ﻣﻦ
ﺍﻟﻤﻮﺣﺪﻳﻦ، ﻭﻣﻨﺴﻮﺧﺔ
ﺑﺎﻟﻘﺘﺎﻝ ﻓﻲ ﺣﻖ
ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻳﻦ. ﻭﻗﺪ ﻗﻴﻞ: ﺇﻥ
ﻣﻦ ﺃﻣﻜﻨﺖ ﻣﻌﻪ ﻫﺬﻩ
ﺍﻻﺣﻮﺍﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ
ﻭﺭﺟﻰ ﺇﻳﻤﺎﻧﻪ ﺑﻬﺎ ﺩﻭﻥ
ﻗﺘﺎﻝ ﻓﻬﻰ ﻓﻴﻪ ﻣﺤﻜﻤﺔ.
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ.
Artinya:
“(Ayat ini diturunkan di Makkah saat Nabi SAW.
diperintahkan untuk bersikap damai kepada kaum
Quraisy. Beliau diperintahkan untuk menyeru
pada agama Allah dengan lembut (talathuf),
layyin, tidak bersikap kasar (mukhasanah), dan
tidak menggunakan kekerasan (ta’nif). Demikian
pula kaum Muslim; hingga Hari Kiamat
dinasihatkan dengan hal tersebut. Ayat ini bersifat
muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang
durhaka dan telah di-mansûkh oleh ayat perang
berkaitan dengan kaum kafir. Ada pula yang
mengatakan bahwa bila terhadap orang kafir
dapat dilakukan cara tersebut, serta terdapat
harapan mereka untuk beriman tanpa
peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan
demikian bersifat muhkam. Wallâhu a’lam.)” [9]
c. Tafsir At-Thabary
) ﺍﺩْﻉُ ( ﻳﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻣﻦ
ﺃﺭﺳﻠﻚ ﺇﻟﻴﻪ ﺭﺑﻚ ﺑﺎﻟﺪﻋﺎﺀ
ﺇﻟﻰ ﻃﺎﻋﺘﻪ) ﺇِﻟَﻰ
ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺭَﺑِّﻚَ (
ﻳﻘﻮﻝ: ﺇﻟﻰ ﺷﺮﻳﻌﺔ ﺭﺑﻚ
ﺍﻟﺘﻲ ﺷﺮﻋﻬﺎ ﻟﺨﻠﻘﻪ، ﻭﻫﻮ
ﺍﻹﺳﻼﻡ
) ﺑِﺎﻟْﺤِﻜْﻤَﺔِ ( ﻳﻘﻮﻝ
ﺑﻮﺣﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻮﺣﻴﻪ
ﺇﻟﻴﻚ ﻭﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻨﺰﻟﻪ
ﻋﻠﻴﻚ
) ﻭَﺍﻟْﻤَﻮْﻋِﻈَﺔِ
ﺍﻟْﺤَﺴَﻨَﺔِ ( ﻳﻘﻮﻝ:
ﻭﺑﺎﻟﻌﺒﺮﺓ ﺍﻟﺠﻤﻴﻠﺔ ﺍﻟﺘﻲ
ﺟﻌﻠﻬﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﺠﺔ ﻋﻠﻴﻬﻢ
ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ، ﻭﺫﻛّﺮﻫﻢ ﺑﻬﺎ
ﻓﻲ ﺗﻨﺰﻳﻠﻪ، ﻛﺎﻟﺘﻲ ﻋﺪّﺩ
ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺴﻮﺭﺓ
ﻣﻦ ﺣﺠﺠﻪ ، ﻭﺫﻛّﺮﻫﻢ
ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺎ ﺫﻛﺮﻫﻢ ﻣﻦ ﺁﻻﺋﻪ
) ﻭَﺟَﺎﺩِﻟْﻬُﻢْ
ﺑِﺎﻟَّﺘِﻲ ﻫِﻲَ
ﺃَﺣْﺴَﻦُ ( ﻳﻘﻮﻝ:
ﻭﺧﺎﺻﻤﻬﻢ ﺑﺎﻟﺨﺼﻮﻣﺔ
ﺍﻟﺘﻲ ﻫﻲ ﺃﺣﺴﻦ ﻣﻦ
ﻏﻴﺮﻫﺎ ﺃﻥ ﺗﺼﻔﺢ ﻋﻤﺎ
ﻧﺎﻟﻮﺍ ﺑﻪ ﻋﺮﺿﻚ ﻣﻦ
ﺍﻷﺫﻯ، ﻭﻻ ﺗﻌﺼﻪ ﻓﻲ
ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﺑﺎﻟﻮﺍﺟﺐ ﻋﻠﻴﻚ ﻣﻦ
ﺗﺒﻠﻴﻐﻬﻢ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﺭﺑﻚ.
Artinya:
“Serulah (Wahai Muhammad, orang yang engkau
diutus Rabb-mu kepada nya dengan seruan
untuk taat ke jalan Rabb-mu, yakni ke jalan
Tuhanmu yang telah Dia syariatkan bagi
makhluk-Nya yakni Islam, dengan hikmah (yakni
dengan wahyu Allah yang telah diwahyukan
kepadamu dan kitab-Nya yang telah Dia turunkan
kepadamu) dan dengan nasihat yang baik (al-
mau’izhah al-hasanah, yakni dengan peringatan/
pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujah
atas mereka di dalam kitab-Nya dan Allah telah
mengingatkan mereka dengan hujah tersebut
tentang apa yang diturunkan-Nya. Sebagaimana
yang banyak tersebar dalam surat ini, dan Allah
mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat
tersebut) tentang berbagai kenikmatan-Nya). Serta
debatlah mereka dengan cara baik (yakni
bantahlah mereka dengan bantahan yang terbaik),
dari selain bantahan itu engkau berpaling dari
siksaan yang mereka berikan kepadamu sebagai
respon mereka terhadap apa yang engkau
sampaikan. Janganlah engkau mendurhakai-Nya
dengan tidak menyampaikan risalah Rabb-mu
yang diwajibkan kepadamu.) [10]
d. Tafsir al-Qurân il-‘Azhîm
ﻳﻘﻮﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻣﺮﺍ ﺭﺳﻮﻟﻪ
ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﻳﺪﻋﻮ ﺍﻟﺨﻠﻖ
ﺑﺎﻟﺤﻜﻤﺔ.ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ
ﺟﺮﻳﺮ:ﻭﻫﻮﻣﺎ ﺍﻧﺰﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ.
}ﻭﺍﻟﻤﻮﻋﻈﺔ ﺍﻟﺤﺴﻨﺔ{ ﺍﻱ :
ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻭﺍﺟﺮ
ﻭﺍﻟﻮﻗﺎﺀﻉ
ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ﺩﻛﺮﻫﻢ ﺑﻬﺎ
ﻟﻴﺤﺬﺭﻭﺍ ﺑﺎﺀ ﺱ ﺍﻟﻠﻪ
ﺗﻌﻠﻰ. } ﻭَﺟَﺎﺩِﻟْﻬُﻢْ
ﺑِﺎﻟَّﺘِﻲ ﻫِﻲَ
ﺃَﺣْﺴَﻦُ { ﺃﻱ: ﻣﻦ
ﺍﺣﺘﺎﺝ ﻣﻨﻬﻢ ﺇﻟﻰ ﻣﻨﺎﻇﺮﺓ
ﻭﺟﺪﺍﻝ، ﻓﻠﻴﻜﻦ ﺑﺎﻟﻮﺟﻪ
ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺑﺮﻓﻖ ﻭﻟﻴﻦ
ﻭﺣﺴﻦ ﺧﻄﺎﺏ، ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ:
} ﻭَﻻ ﺗُﺠَﺎﺩِﻟُﻮﺍ
ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﺇِﻻ
ﺑِﺎﻟَّﺘِﻲ ﻫِﻲَ
ﺃَﺣْﺴَﻦُ ﺇِﻻ
ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻇَﻠَﻤُﻮﺍ
ﻣِﻨْﻬُﻢْ {
]ﺍﻟﻌﻨﻜﺒﻮﺕ:46 [ . ﻓﺄﻣﺮﻩ
ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻠﻴﻦ ﺍﻟﺠﺎﻧﺐ، ﻛﻤﺎ
ﺃﻣﺮ ﻣﻮﺳﻰ ﻭﻫﺎﺭﻭﻥ،
ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﺍﻟﺴﻼﻡ، ﺣﻴﻦ
ﺑﻌﺜﻬﻤﺎ ﺇﻟﻰ ﻓﺮﻋﻮﻥ
ﻓﻘﺎﻝ} : ﻓَﻘُﻮﻻ
ﻟَﻪ ﻗَﻮْﻻ ﻟَﻴِّﻨًﺎ
ﻟَﻌَﻠَّﻪُ ﻳَﺘَﺬَﻛَّﺮُ
ﺃَﻭْ ﻳَﺨْﺸَﻰ {
]ﻃﻪ :44 [
ﻭﻗﻮﻟﻪ: ﺇِﻥَّ ﺭَﺑَّﻚَ
ﻫُﻮَ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﻤَﻦْ
ﺿَﻞَّ ﻋَﻦْ
ﺳَﺒِﻴﻠِﻪِ ﻭَﻫُﻮَ
ﺃَﻋْﻠَﻢُ
ﺑِﺎﻟْﻤُﻬْﺘَﺪِﻳﻦَ. ﺃﻱ:
ﻗﺪ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﺸﻘﻲ ﻣﻨﻬﻢ
ﻭﺍﻟﺴﻌﻴﺪ، ﻭﻛﺘﺐ ﺫﻟﻚ
ﻋﻨﺪﻩ ﻭﻓﺮﻍ ﻣﻨﻪ، ﻓﺎﺩﻋﻬﻢ
ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﻻ ﺗﺬﻫﺐ
ﻧﻔﺴﻚ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺿﻞ
ﻣﻨﻬﻢ ﺣﺴﺮﺍﺕ، ﻓﺈﻧﻪ
ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻚ ﻫﺪﺍﻫﻢ ﺇﻧﻤﺎ
ﺃﻧﺖ ﻧﺬﻳﺮ، ﻋﻠﻴﻚ
ﺍﻟﺒﻼﻍ، ﻭﻋﻠﻴﻨﺎ ﺍﻟﺤﺴﺎﺏ
Artinya:
“(Allah, Zat Yang Mahatinggi, berfirman dengan
memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad SAW.,
untuk menyeru segenap makhluk kepada Allah
dengan hikmah. Ibn Jarir menyatakan, bahwa
maksud dari hal tersebut adalah apa saja yang
diturunkan kepadanya baik al-Quran, as-Sunnah.
Dan nasihat yang baik, artinya dengan apa saja
yang dikandungnya berupa peringatan (zawâjir)
dan realitas-realitas manusia. Memperingatkan
mereka dengannya supaya mereka waspada
terhadap murka Allah SWT. Debatlah mereka
dengan debat terbaik’ artinya barang siapa di
antara mereka yang berhujah hingga berdebat
dan berbantahan maka lakukanlah hal tersebut
dengan cara yang baik, berteman, lembut, dan
perkataan yang baik. Hal ini seperti firman Allah
SWT. dalam surat al-‘Ankabut (29): 46 (yang
artinya): Janganlah kalian berdebat dengan Ahli
Kitab melainkan dengan cara yang paling baik,
kecuali dengan orang-orang zalim di antara
mereka. Dia memerintahkannya untuk bersikap
lembut seperti halnya Dia memerintahkan hal
tersebut kepada Musa a.s. dan Harun a.s. ketika
keduanya diutus menghadap Fir’aun seperti
disebut dalam surat Thaha (20) ayat 44 (yang
artinya): Katakanlah oleh kalian berdua kepadanya
perkataan lembut semoga dia mendapat
peringatan atau takut. Firman-Nya
“Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Maha
Mengetahui terhadap siapa yang sesat dari jalan-
Nya” artinya Sungguh Dia telah mengetahui
orang yang celaka dan bahagia di antara mereka.
Dan Allah telah menuliskan dan menuntaskan hal
itu disisinya. Oleh karena itu, serulah mereka
kepada Allah, dan janganlah engkau merasa rugi
atas mereka yang sesat, sebab bukanlah
kewajibanmu menjadikan mereka mendapatkan
petunjuk, engkau semata-mata pemberi
peringatan, engkau wajib menyampaikan dan
Kami yang wajib menghisabnya.)”[11]
4. Analisis Tafsir An Nahl ayat 125
a. Makna Hikmah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan,
kesaktian dan makna yang dalam.[12] Secara
bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan
dan amal.[13] Menurut ar-Raghib, al-hikmah
berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan
mengerjakan hal-hal yang baik.[14] Menurut
Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan
kebenaran dalam ucapan selain kenabian. At-
Thabary mengatakan bahwa Hikmah dari Allah
SWT bisa berarti benar dalam keyakinan dan
pandai dalam din dan akal. [15]
Adapun Abdul Aziz bin Baz bin Abdullah
bin Baz berdasarkan penelitiannya
menyimpulkan bahwa hikmah mengandung arti
sebagai berikut:
ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻬﺎ: ﺍﻷﺩﻟﺔ ﺍﻟﻤﻘﻨﻌﺔ
ﺍﻟﻮﺍﺿﺤﺔ ﺍﻟﻜﺎﺷﻔﺔ ﻟﻠﺤﻖ،
ﻭﺍﻟﺪﺍﺣﻀﺔ ﻟﻠﺒﺎﻃﻞ؛ ﻭﻟﻬﺬﺍ ﻗﺎﻝ
ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﻔﺴﺮﻳﻦ: ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ:
ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ؛ ﻷﻧﻪ ﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
ﺍﻟﻌﻈﻴﻤﺔ؛ ﻷﻥ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ
ﻭﺍﻹﻳﻀﺎﺡ ﻟﻠﺤﻖ ﺑﺄﻛﻤﻞ ﻭﺟﻪ،
ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ: ﻣﻌﻨﺎﻩ: ﺑﺎﻷﺩﻟﺔ
ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ.
Artinya:
“Dan yang dimaksud dengan hikmah adalah:
petunjuk yang memuaskan, jelas, serta
menemukan (mengungkapkan) kebenaran, dan
membantah kebatilan. Oleh karena itu, telah
berkata sebagian mufassir bahwa makna hikmah
adalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-
Qur’an adalah hikmah yang agung. Karena
sesungguhnya di dalam Al Qur’an ada keterangan
dan penjelasan tentang kebenaran dengan wajah
yang sempurna (proporsional). Dan telah berkata
sebagian yang lain bahwa makna hikmah adalah
dengan petunjuk dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah.”
Pernyataan Abdul Aziz Bin Baz tersebut
sejalan dengan pendapat sebagian mufasir
terdahulu seperti As-Suyuthi, dan Al-Baghawi,
As-Samarkandy yang mengartikan hikmah
sebagai al-Quran. Dan Ibnu Katsir yang
menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang
diturunkan Allah berupa al-Kitab dan As-Sunnah.
Penafsiran tersebut tampaknya masih
global. Mufasir lainnya lalu menafsirkan hikmah
secara lebih rinci, yakni sebagai hujjah atau dalil.
Sebagian mensyaratkan hujjah itu harus bersifat
qath‘i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi. Yang
lainnya, seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan
sifat qath‘i, tetapi menjelaskan karakter dalil itu,
yakni kejelasan yang menghilangkan kesamaran
[19]. An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah
sebagai hujjah yang qath‘i yang menghasilkan
akidah yang meyakinkan[20]. An-Nisaburi
menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i
yang dapat menghasilkan keyakinan[21]. Al-
Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah
dengan ucapan yang tepat (al-maqâlah al-
muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan
kebenaran dan menyingkirkan kesamaran (ad-
dalil al-muwadhdhih li al-haq wa alimuzîh li asy-
syubhah)[22]. Al-Asyqar menafsirkan hikmah
dengan ucapan yang tepat dan benar (al-maqâlah
al-muhakkamah ash-shahîhah).
Kesimpulannya, jumhur mufasir
menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil.
Dari ungkapan para mufasir di atas juga dapat
dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah
hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah),
yakni hujjah yang tertuju pada akal. Sebab, para
mufasir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi,
al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan
seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya
yang spesifik, yakni golongan yang mempunyai
kemampuan berpikir sempurna.
Al-burhân al-‘aqlî (argumentasi logis)
yang di maksud adalah argumentasi yang
masuk akal, yang tidak dapat dibantah, dan yang
memuaskan. Yang dapat mempengaruhi pikiran
dan perasaan siapa saja. Sebab, manusia tidak
dapat menutupi akalnya di hadapan argumentasi-
argumentasi yang pasti serta pemikiran yang
kuat. Argumentasi logis mampu membongkar
rekayasa kebatilan, menerangi wajah kebenaran,
dan menjadi api yang mampu membakar
kebobrokan sekaligus menjadi cahaya yang dapat
menyinari kebenaran.
Hikmah, memang, kadangkala berarti
menempatkan persoalan pada tempatnya;
kadangkala juga berarti hujjah atau argumentasi.
Dalam ayat ini, tidak mungkin ditafsirkan dengan
makna menempatkan persoalan pada tempatnya.
Makna hikmah dalam ayat ini adalah hujah dan
argumentasi
Dakwah atau pengajaran dengan cara
hikmah, umumnya diberikan oleh seseorang
untuk menjelaskan sesuatu kepada pendengarnya
yang ikhlas untuk mencari kebenaran. Hanya
saja, ia tidak dapat mengikuti kebenaran kecuali
bila akalnya puas dan hatinya tenteram.
2. Makna Mau‘izhah Al-hasanah.
Sebagian mufasir menafsirkan
mau’izhah hasanah (nasihat/peringatan yang baik)
secara global, yaitu nasihat atau peringatan al-
Quran (mau’izhah al-Qur’an). Demikian pendapat
al-Fairuzabadi, as-Suyuthi, dan al-Baghawi.
Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit
menambahkan, dapat juga maknanya perkataan
yang lembut (al-qawl ar-raqîq).
Merinci tafsiran global tersebut, para
mufasir menjelaskan sifat mau’izhah hasanah
sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati
(perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat
itu yang tertuju pada akal. Sayyid Quthub
menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai nasihat
yang masuk ke dalam hati dengan lembut
(tadkhulu ilâ al-qulûb bi rifq).[23] An-Nisaburi
menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai dalil-dalil
yang memuaskan (ad-dalâ’il al-iqna’iyyah), yang
tersusun untuk mewujudkan pembenaran
(tashdîq) berdasarkan premis-premis yang yang
telah diterima.[24] Al-Baidhawi dan Al-Alusi
menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai seruan-
seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-
khithâbât al-muqni‘ah) dan ungkapan-ungkapan
yang bermanfaat (al-‘ibâr al-nâafi‘ah).[25] An-
Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-
tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azh-
zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan.[26]
Al-Khazin menafsirkan mau’izhah hasanah
dengan targhîb (memberi dorongan untuk
menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan
ancaman/peringatan agar meninggalkan
kemaksiatan).[27]
Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat
yang tergolong mau’izhah hasanah ada dua:
Pertama, menggunakan ungkapan yang tertuju
pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang
digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi, al-
Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ’il (bukti-
bukti), muqaddimah (premis), dan khithâb
(seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi
akal untuk memahami. Kedua, menggunakan
ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan.
Terbukti, para mufasir menyifati dalil itu dengan
aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi,
misalnya, mengunakan kata dalâ’il iqnâ‘iyyah (dalil
yang menimbulkan kepuasan). Al-Baidhawi dan
al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-
muqni‘ah (ungkapan-ungkapan yang
memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan
(iqnâ‘) jelas tidak akan terwujud tanpa proses
pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini
jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini
atau puas terhadap sesuatu dalil. Di antara upaya
untuk menyentuh perasaan adalah
menyampaikan targhîb dan tarhîb, sebagaimana
ditunjukkan oleh Al-Khazin.
Al-Quran telah mempraktikkan hal
tersebut, pada saat ia menyeru pemikiran ia pun
mempengaruhi perasaan manusia. Oleh karena
itu di dalam proses pengajaran dan pendidikan
hendaklah mengandung unsur-unsur tersebut.
Adapun mau’izhah al hasanah atau nasihat yang
baik, umumnya dengan cara memberikan berita
gembira dan berita peringatan dari Allah Pencipta
alam. Misalnya firman Allah SWT.dalam Surat Al-
A’raf ayat 179:
ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﺫَﺭَﺃْﻧَﺎ
ﻟِﺠَﻬَﻨَّﻢَ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ
ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠِﻦِّ
ﻭَﺍﻟْﺈِﻧْﺲِ ﻟَﻬُﻢْ
ﻗُﻠُﻮﺏٌ ﻟَﺎ
ﻳَﻔْﻘَﻬُﻮﻥَ ﺑِﻬَﺎ
ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﺃَﻋْﻴُﻦٌ ﻟَﺎ

tafsir an nahal ayat 125 by fikri

Serulah (manusia) ke jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhan-mu, Dialah Yang Mahatahu tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah Yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk. (QS an-Nahl [16]: 125).
Pendapat Para Ahli Tafsir
1. Tafsir al-Jalâlayn
Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan
Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan
al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat
atau perkataan yang halus) dan debatlah mereka
dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti
menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-
ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah).
Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Mahatahu,
yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari
jalan-Nya, dan Dia Mahatahu atas orang-orang
yang mendapatkan petunjuk. Hal ini terjadi
sebelum ada perintah berperang. Ketika Hamzah
dicincang dan meninggal dunia pada Perang
Uhud turunlah ayat berikutnya.
2. Tafsir al-Quthubi
Ayat ini diturunkan di Makkah saat Nabi saw.
diperintahkan untuk bersikap damai kepada kaum
Quraisy. Beliau diperintahkan untuk menyeru
pada agama Allah dengan lembut (talathuf),
layyin, tidak bersikap kasar (mukhâsanah), dan
tidak menggunakan kekerasan (ta’nîf). Demikian
pula kaum Muslim; hingga Hari Kiamat
dinasihatkan dengan hal tersebut. Ayat ini bersifat
muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang
durhaka dan telah di-mansûkh oleh ayat perang
berkaitan dengan kaum kafir. Ada pula yang
mengatakan bahwa bila terhadap orang kafir
dapat dilakukan cara tersebut, serta terdapat
harapan mereka untuk beriman tanpa
peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan
demikian bersifat muhkam. Wallâhu a’lam.
3. Tafsir ath-Thabari
Allah Swt. mengingatkan Nabi saw., “Serulah,
wahai Muhammad, orang-orang yang engkau
diutus Rabb-mu kepada mereka dengan seruan
untuk taat ke jalan Rabb-mu, yakni ke jalan yang
telah Dia syariatkan bagi makhluk-Nya yakni
Islam, dengan hikmah (yakni dengan wahyu
Allah yang telah diwahyukan kepadamu dan
kitab-Nya yang telah Dia wahyukan kepadamu)
dan dengan nasihat yang baik (al-maw‘izhah al-
hasanah, yakni dengan ungkapan indah yang
Allah jadikan hujah atas mereka di dalam kitab-
Nya dan ingatkan juga mereka dengannya
tentang apa yang diturunkan-Nya sebagaimana
yang banyak tersebar dalam surat ini dan
ingatkan mereka dengan apa yang ditunkan Allah
Swt. tentang berbagai kenikmatan-Nya bagi
mereka), serta debatlah mereka dengan cara baik
(yakni bantahlah mereka dengan bantahan yang
terbaik), engkau berpaling dari siksaan yang
mereka berikan kepadamu sebagai respon
mereka terhadap apa yang engkau sampaikan.
Janganlah engkau mendurhakai-Nya dengan tidak
menyampaikan risalah Rabb-mu yang diwajibkan
kepadamu.
4. Tafsir al-Qurân il-‘Azhîm
Allah, Zat Yang Mahatinggi, berfirman dengan
memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad saw.,
untuk menyeru segenap makhluk kepada Allah
dengan hikmah. Ibn Jarir menyatakan, bahwa
maksud dari hal tersebut adalah apa saja yang
diturunkan kepadanya baik al-Quran, as-Sunnah,
maupun nasihat yang baik; artinya dengan apa
saja yang dikandungnya berupa peringatan
(zawâjir) dan realitas-realitas manusia.
Peringatkanlah mereka dengannya supaya
mereka waspada terhadap murka Allah Swt.
‘Debatlah mereka dengan debat terbaik’ artinya
barangsiapa di antara mereka yang berhujah
hingga berdebat dan berbantahan maka
lakukanlah hal tersebut dengan cara yang baik,
berteman, lembut, dan perkataan yang baik. Hal
ini seperti firman Allah Swt. dalam surat
al-‘Ankabut (29): 46 (yang artinya): Janganlah
kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan
dengan cara yang paling baik, kecuali dengan
orang-orang zalim di antara mereka. Dia
memerintahkannya untuk bersikap lembut seperti
halnya Dia memerintahkan hal tersebut kepada
Musa a.s. dan Harun a.s. ketika keduanya diutus
menghadap Fir’aun seperti disebut dalam surat
Thaha (20) ayat 44 (yang artinya): Katakanlah
oleh kalian berdua kepadanya perkataan lembut
semoga dia mendapat peringatan atau takut.
Firman-Nya “Sesungguhnya Rabb-mu Dialah
Maha Mengetahui terhadap siapa yang sesat dari
jalan-Nya” artinya Dia telah mengetahui orang
yang celaka dan bahagia di antara mereka. Oleh
karena itu, serulah mereka kepada Allah, dan
janganlah engkau merasa rugi atas mereka yang
sesat, sebab bukanlah kewajibanmu menjadikan
mereka mendapatkan petunjuk; engkau semata-
mata pemberi peringatan, engkau wajib
menyampaikan dan Kami yang wajib
menghisabnya.
Makna Global
Berdasarkan beberapa pendapat di atas,
tampaklah bahwa Allah Swt. menggariskan tiga
cara menyeru manusia pada Islam, yaitu:
hikmah, peringatan/nasihat yang baik, dan debat.
Hikmah adalah al-burhân al-‘aqlî (argumentasi
logis). Maksudnya, argumentasi yang masuk akal,
yang tidak dapat dibantah, dan yang
memuaskan. Cara demikian dapat
mempengaruhi pikiran dan perasaan siapa saja.
Sebab, manusia tidak dapat menutupi akalnya di
hadapan argumentasi-argumentasi yang pasti
serta pemikiran yang kuat. Argumentasi logis
mampu membongkar rekayasa kebatilan,
menerangi wajah kebenaran, dan menjadi api
yang mampu membakar kebobrokan sekaligus
menjadi cahaya yang dapat menyinari
kebenaran. Al- Quran datang dengan hujah-
hujah yang jelas dan argumentasi-argumentasi
yang logis. Hikmah, memang, kadangkala
berarti menempatkan persoalan pada tempatnya;
kadangkala juga berarti hujjah atau argumentasi.
Dalam ayat ini, tidak mungkin ditafsirkan dengan
makna ‘menempatkan persoalan pada
tempatnya’. Makna hikmah dalam ayat ini adalah
hujah dan argumentasi.
Jumhur ulama memaknai hikmah yang dikaitkan
dengan dakwah sebagai perkataan tegas dan
benar yang dapat membedakan yang hak dan
batil, sedangkan hikmah yang disambungkan
dengan al-Quran maksudnya adalah As Sunnah.
Dakwah dengan cara hikmah umumnya
diberikan oleh seseorang untuk menjelaskan
sesuatu kepada pendengarnya yang ikhlas untuk
mencari kebenaran. Hanya saja, ia tidak dapat
mengikuti kebenaran kecuali bila akalnya puas dan
hatinya tenteram.
Cara mengemban dakwah yang kedua, adalah
maw‘izhah hasanah atau peringatan yang baik.
Itu berarti mempengaruhi perasaan manusia
tatkala akal mereka diseru dan mempengaruhi
pemikiran mereka tatkala perasaannya diseru.
Dengan begitu, pemahaman mereka terhadap
apa yang mereka dakwahkan senantiasa diliputi
oleh semangat untuk melaksanakannya serta
beraktivitas untuk meraihnya. Al-Quran telah
mempraktikkan hal itu. Pada saat ia menyeru
pemikiran, ia pun mempengaruhi perasaan
manusia. Nasihat yang baik umumnya melalui
cara berita gembira dan berita peringatan dari
Allah Pencipta alam. Misalnya firman Allah Swt.:
] ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﺫَﺭَﺃْﻧَﺎ ﻟِﺠَﻬَﻨَّﻢَ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ
ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺠِﻦِّ ﻭَﺍْﻹِﻧﺲِ ﻟَﻬُﻢْ ﻗُﻠُﻮﺏٌ
ﻻَ ﻳَﻔْﻘَﻬُﻮﻥَ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﺃَﻋْﻴُﻦٌ
ﻻَ ﻳُﺒْﺼِﺮُﻭﻥَ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﺁﺫَﺍﻥٌ ﻻَ
ﻳَﺴْﻤَﻌُﻮﻥَ ﺑِﻬَﺎ ﺃُﻭْﻟَﺌِﻚَ
ﻛَﺎْﻷَﻧْﻌَﺎﻡِ ﺑَﻞْ ﻫُﻢْ ﺃَﺿَﻞُّ
ﺃُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢْ ﺍﻟْﻐَﺎﻓِﻠُﻮﻥَ [
Sesungguhnya Kami telah menjadikan isi neraka
Jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia.
Mereka mempunyai pikiran tetapi tidak
dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat
Allah). Mereka mempunyai mata tetapi tidak
dipergunakan untuk memperhatikan (ayat-ayat
Allah). Mereka juga mempunyai telinga tetapi tidak
dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat
Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lalai. (QS al-An‘am [6]: 179).
Adapun cara yang ketiga adalah al-jidâl (debat)
dengan cara yang baik, yaitu diskusi terbatas
pada ide. Debat dilakukan dengan menyerang dan
menjatuhkan argumentasi-argumentasi yang
batil, lalu memberikan argumentasi-argumentasi
yang jitu dan benar, berdasarkan kajian hingga
sampai pada suatu kebenaran. Karena itu, seperti
telah disebut, debat mengandung dua sifat, yaitu
merobohkan dan membangun; menjatuhkan dan
menegakkan argumentasi-argumentasi. Di antara
teladan cara debat yang diajarkan al-Quran
adalah:
]ﺃَﻟَﻢْ ﺗَﺮَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺣَﺎﺝَّ
ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻓِﻲ ﺭَﺑِّﻪِ ﺃَﻥْ ﺁﺗَﺎﻩُ
ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚَ ﺇِﺫْ ﻗَﺎﻝَ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢُ
ﺭَﺑِّﻲ
ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳُﺤْﻴِﻲ ﻭَﻳُﻤِﻴﺖُ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻧَﺎ
ﺃُﺣْﻴِﻲ ﻭَﺃُﻣِﻴﺖُ ﻗَﺎﻝَ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢُ
ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻳَﺄْﺗِﻲ ﺑِﺎﻟﺸَّﻤْﺲِ ﻣِﻦْ
ﺍﻟْﻤَﺸْﺮِﻕِ ﻓَﺄْﺕِ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦْ
ﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﻓَﺒُﻬِﺖَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻛَﻔَﺮَ[
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang
mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah)?
Karena Allah telah memberikan kepada orang itu
pemerintahan (kekuasaan), ketika Ibrahim
mengatakan, “Tuhanku ialah yang menghidupkan
dan mematikan.” Orang itu berkata, “Aku dapat
menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata,
“Allah bisa menerbitkan matahari dari Timur,
maka terbitkanlah dari Barat.” Lalu diam dan
terdiamlah orang kafir itu. (QS al-Baqarah [2]:
257).
Allah Swt. juga berfirman:
] ﻗَﺎﻝَ ﻓِﺮْﻋَﻮْﻥُ ﻭَﻣَﺎ ﺭَﺏُّ
ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ% ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺏُّ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕِ
ﻭَﺍْﻷَﺭْﺽِ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺇِﻥْ
ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻣُﻮﻗِﻨِﻴﻦَ% ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻤَﻦْ
ﺣَﻮْﻟَﻪُ ﺃَﻻَ ﺗَﺴْﺘَﻤِﻌُﻮﻥَ% ﻗَﺎﻝَ
ﺭَﺑُّﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺏُّ ﺀَﺍﺑَﺎﺋِﻜُﻢُ
ﺍْﻷَﻭَّﻟِﻴﻦَ% ﻗَﺎﻝَ
ﺇِﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺃُﺭْﺳِﻞَ
ﺇِﻟَﻴْﻜُﻢْ ﻟَﻤَﺠْﻨُﻮﻥٌ% ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺏُّ
ﺍﻟْﻤَﺸْﺮِﻕِ ﻭَﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﻭَﻣَﺎ
ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ
ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻌْﻘِﻠُﻮﻥَ% ﻗَﺎﻝَ ﻟَﺌِﻦِ
ﺍﺗَّﺨَﺬْﺕَ ﺇِﻟَﻬًﺎ
ﻏَﻴْﺮِﻱ َﻚَّﻨَﻠَﻌْﺟَﻷَ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻤَﺴْﺠُﻮﻧِﻴﻦَ% ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻭَﻟَﻮْ
ﺟِﺌْﺘُﻚَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻣُﺒِﻴﻦٍ% ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺄْﺕِ
ﺑِﻪِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺖَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻗِﻴﻦَ[
Fir’aun bertanya, “Siapa Tuhan alam semesta itu?”
Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan
bumi dan apa saja yang ada pada keduanya
(itulah Tuhanmu) jika kamu sekalian (orang-
orang) yang mempercayainya.” Berkata Fir’aun
kepada orang-orang sekelilingnya, “Apakah kamu
tidak mendengarkan?” Musa berkata (pula),
“Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek kamu
terdahulu,” Fir’aun berkata, “Sesungguhnya
rasulmu yang diutus kepada kalian benar-benar
orang gila,” Musa berkata, “Tuhan yang
menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada
diantara keduanya (itulah Tuhanmu) jika kamu
mempergunakan akal.” Fir’aun berkata, “Sungguh
jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-
benar aku akan menjadikan kamu salah seorang
yang dipenjarakan.” Musa berkata, “Datangkanlah
sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu
termasuk orang-orang yang benar.” (QS asy-
Syu‘ara [26]: 23-31).
Ayat-ayat tersebut menggambarkan bahwa debat
itu haruslah dalam rangka mengungkapkan
kebenaran sebagai benar dan kebatilan sebagai
batil di hadapan orang yang tetap ‘ngotot’ dengan
kebatilannya dan kuat penentangannya sekalipun
telah jelas kebenaran di antara kebatilan seperti
jelasnya matahari di siang bolong. Caranya
dengan merobohkan argumen batil, menyerang
argumentasi batil, serta menelanjangi kebatilan
tersebut dengan argumentasi benar secara
mengakar dan tepat, lalu dibangunlah kebenaran
atas dasar argumen atau dalil yang tepat tersebut.
Inilah hakikat debat yang dikehendaki Allah Swt.
Penutup: Dakwah Tanpa Kekerasan
Penelusuran terhadap makna surat an-Nahl [16]
ayat 125 di atas memberikan gambaran bahwa
dakwah menyeru manusia ke jalan Islam
ditempuh tanpa kekerasan. Cara yang dilakukan
adalah dengan mengubah pemikiran mereka
melalui penjelasan argumentasi (hikmah),
menunjukan kabar gembira dan peringatan dari
Allah Swt. (maw‘izhah hasanah), atau
menelanjangi kebatilan sekaligus membangun
kebenaran dengan debat (jidâl). n
Categories: Arsip Al-Wa'ie